Kejaksaan Agung Hentikan 4 Perkara Pidana Ringan berdasarkan Restorative Justice

Nasional231 Dilihat

Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 4 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif. Senin (26/8/2024)

Kapuspenkum Kejagung Dr. Harli Siregar dalam keterangan persnya menyampaikan,  adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Suyadi bin Waget dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, yang disangka melanggar 362 KUHP tentang Pencurian.

Kronologi bermula saat Tersangka Suyadi bin Waget pada hari Selasa tanggal 25 Juni 2024 sekira jam 15.00 WIB, Tersangka Suyadi bin Waget keluar rumah untuk memulung mencari barang bekas yang kemudian Tersangka jual kembali, sehingga hasil penjualan tersebut dapat diberikan kepada istri Tersangka untuk membeli makan.

Kemudian Tersangka mengitari daerah Taman Palem Lestari Cengkareng Barat sambil membawa sebuah karung. Saat mengitari daerah tersebut, Tersangka melihat sebuah rumah yang tidak berpagar dan Tersangka langsung masuk ke dalam rumah tersebut untuk mengambil sebuah lemari yang terbuat dari acrylic.

Tersangka Suyadi bin Wager mematahkan lemari tersebut menjadi beberapa bagian agar mudah dimasukkan kedalam karung. Saat Tersangka sedang memasukkan acrylic ke dalam karung, tiba-tiba datang Saksi Mulyo selaku pemilik acrylic lalu melempari Tersangka dengan kayu hingga Tersangka kaget, karena sudah ketahuan Tersangka langsung pergi meninggalkan tempat kejadian sambil membawa karung yang berisikan potongan acrylic. Kemudian saksi Mulyo mengejar hingga akhirnya Tersangka berhasil diamankan.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Hendri Antoro, S.Ag., S.H., M.H. bersama Kasi Pidum Muhammad Adib Adam, S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator Bharoto, S.H., dan Zulkipli, S.H., menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan. Selain itu, Korban mengalami kerugian senilai Rp.2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Dr. Rudi Margono, S.H., M.Hum. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 26 Agustus 2024.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 3 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:

2. Tersangka Mathias Klaru Domaking dari Kejaksaan Negeri Lembata, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

3. Tersangka Much Fajar bin Irwansyah dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

4. Tersangka Juli Susilo anak dari Lo Siaw Siong dari Kejaksaan Negeri Belitung, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Tap Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 76 C Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

– Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;

– Tersangka belum pernah dihukum;

– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;

– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;

– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;

– Pertimbangan sosiologis;

– Masyarakat merespon positif.

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum, tutup Harli Siregar (redaksi)